Wabah Covid-19 semakin meresahkan masyarakat Indonesia. Pemerintah pun akhirnya mengeluarkan imbauan agar masyarakat sebisa mungkin menghindari keramaian. Masyarakat diminta tidak berkumpul dalam jumlah besar di tempat tertentu. Hal itu dilakukan untuk memutus rantai persebaran virus yang semakin meluas. Di tengah upaya tersebut, masyarakat Indonesia malah dihebohkan dengan pemberitaan tentang kegiatan Tabligh Ijtima Dunia 2020 Zona Asia yang rencananya akan diselenggarakan di Gowa, Sulawesi Selatan pada 19-22 Maret. Diberitakan CNNIndonesia, Kepala Pusat Data dan Informasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana BNPB Agus Wibowo membenarkan keberadaan anggota Jemaah tabligh di Gowa tersebut. Namun setelah pemerintah daerah Sulawesi Selatan bersama TNI dan kepolisian melakukan koordinasi dengan pihak panitia penyelenggara, acara tabligh itu resmi ditunda. Pangdam Hasanuddin Mayjen TNI Andi Simangaruka menyebut pihaknya berhasil meyakinkan panitia menunda acara di tengah pencegahan virus corona yang dilakukan pemerintah Indonesia. “Jadi rencana mereka akan membatalkan kegiatan itu. Ini kesepakatan dengan panitia karena kan progam pemerintah dalam rangka pencegahan penularan virus corona. Mereka mengerti itu,” ucap Andi Simangaruka. Banyak masyarakat yang bingung dengan pemilihan wilayah Gowa sebagai tempat penyelenggaraan acara tersebut. Dari sekian banyak wilayah di Indonesia mengapa Gowa yang dipilih untuk acara yang baru pertama kali terselenggara di Indonesia ini. Hal itu tentu tidak terlepas dari perkembangan ajaran Islam di Gowa yang telah terjadi sejakratusan tahun lalu. Lantas bagaimana Islam pertama kali masuk ke Gowa? Kedatangan Pertama Penyebaran Islam di Nusantara berlangsung tidak merata. Ajaran agama dari Jazirah Arab ini tidaklah masuk secara bersamaan ke seluruh penjuru Nusantara. Masuknya Islam ke Sulawesi Selatan, termasuk Kerajaan Gowa contohnya, bisa dikatakan terlambat dibandingkan dengan wilayah Sumatera dan Jawa. Jika di kedua wilayah tersebut Islam telah berkembang pesat sejak abad ke-10, pengaruh Islam di Sulawesi baru muncul sekitar abad ke-16. Penyebabnya adalah kegiatan dagang di sana baru ramai akhir abad ke-16 hingga permulaan abad ke-17. Dijelaskan Ahmad M. Sewang dalam Islamisasi Kerajaan Gowa Abad XVI sampai Abad XVII, para pedagang Muslim dari berbagai daerah di Nusantara, serta pedagang Eropa baru ramai mengunjungi pelabuhan-pelabuhan di Sulawesi Selatan pada periode abad tersebut. Aktifitas dagang inilah yang mempengaruhi tumbuhnya Islam di Jawa dan Sumatera. Sehingga ketika Sulawesi mulai ramai dikunjungi, persebaran Islam di Gowa pun mulai meningkat. Menurut Mattulada dalam “Islam di Sulawesi Selatan” dimuat dalam Agama dan Perubahan Sosial karya Taufik Abdullah, keberadaan pemukiman Muslim pertama di Makassar diketahui pada masa pemerintahan Raja Gowa X Tonipalangga 1546-1565. Penduduk Muslim pertama di Sulawesi Selatan itu mayoritas berasal dari Campa, Patani, Johor, dan Minangkabau. Mereka adalah para pedagang yang melakukan aktifitas dagang di pelabuhan Makassar, yang ketika itu dikenal sebagai tempat singgah para pelaut yang ingin ke Maluku ataupun ke Sumatera. Pada masa kekuasaan Tonijallo 1565-1590 di tempat bermukim para pedagang Muslim di Mangallekanna itu telah berdiri sebuah masjid. Memasuki abad ke-17 Kerajaan Gowa dan Kerajaan Tallo mulai menerima keberadaan Islam di negerinya. Peristiwa besar penerimaan Islam tersebut ditandai dengan kedatangan tiga orang datuk datuk tallua dari Minangkabau ke wilayah kekuasaan raja Gowa. “Peristiwa masuknya Islam Raja Gowa merupakan tonggak sejarah dimulainya penyebaran Islam di Sulawesi Selatan, karena setelah itu terjadi konversi ke dalam Islam secara besar-besaran,” tulis Sewang. Berdasar peneltian etnolog Prancis Christian Pelras dalam “Religion, Tradition and the Dynamics of Islamization in South Sulawesi” dimuat Archipel, diketahui bahwa orang pertama di Gowa yang menerima Islam adalah mangkubumi Kerajaan Gowa, yang juga memegang kekuasaan tertinggi di Tallo, yaitu I Malingkang Daeng Manyonri. Ia kemudian memperoleh nama Islam Sultan Abdullah Awwalul-Islam. Pada waktu yang bersamaan, Raja Gowa XIV I Mangarangi Daeng Manrabia, juga mengikrarkan dirinya menjadi seorang Muslim. Ia kemudian mengganti namanya menjadi Sultan Alauddin. Keduanya tercatat menjadi Muslim pada 1605. Perubahan seluruh keyakinan di Gowa ke dalam Islam ditasbihkan dengan dikeluarkannya sebuah dekrit Sultan Alauddin pada 9 November 1607. Dalam dekrit itu, kata Sewang, Sultan menjadikan Islam agama resmi kerajaan dan agama yang perlu diyakini seluruh rakyat di wilayah kerajaan Gowa. Tidak ada pertentangan atas keputusan tersebut. Tetapi kemudian mulai timbul pertentangan manakala Gowa mulai menyerukan Islam ke kerajaan-kerajaan taklukannya yang mayoritas masih menganut kepercayaan di luar Islam. Pada perkembangan selanjutnya, ajaran-ajaran Islam yang disyiarkan oleh para ulama di Gowa mulai diterima secara luas oleh masyarakat. “Sejak semula, penyebaran Islam dilakukan atas prakarsa raja, serta atas kemampuan adaptasi yang diperlihatkan oleh para penyiar Islam. Akan tetapi bagaimana proses itu terjadi serta peranan yang dimainkan oleh raja di dalamnya, belumlah ada penelitian yang membahas secara khusus tentang itu,” ungkap Sewang. Datuk Tallua Tersebarnya Islam di kalangan penguasa Gowa tidak terlepas dari peran datuk tallua. Tiga datuk tersebut di antaranya Abdul Makmur Khatib Tunggal, dikenal juga dengan nama Datuk ri Bandang; Sulaiman Khatib Sulung, dikenal juga dengan nama Datuk Patimang; Abdul Jawad Khatib Bungsu, dikenal juga dengan nama Datuk ri Tiro. Begitu tiba di Makassar, ketiganya tidak langsung menjalankan misi agamanya. Mereka lebih banyak berinteraksi dengan orang-orang Melayu dan pedagang Muslim yang sudah lebih dahulu tinggal di Sulawesi Selatan. Para mubalig ini berusaha mendekati para penguasa yang paling dihormati agar penyebaran ajaran Islam lebih mudah dilakukan. Dikisahkan dalam Lontara Pattorioloang dan Lontara Bilang, ketiga datuk kemudian pergi menuju Luwu untuk mendekati penguasa di sana. Berdasar informasi yang didapat, penguasa Luwu lebih terbuka terhadap keberadaan Islam. Akhirnya pada 1605, penguasa Luwu Daeng Parabung berhasil diislamkan. Ia mengganti namanya menjadi Sultan Muhammad. Sebagai raja Luwu, Sultan Muhammad cukup dihormati di kalangan raja-raja Sulawesi Selatan. Ia memiliki pengaruh yang besar. Sultan Muhammad lalu menyarankan agar datuk tallua pergi menemui Raja Gowa. Wilayah Gowa, menurut Sultan Muhammad, memiliki kekuatan militer dan politik yang kuat di kawasan Sulawesi Selatan. Jika Islam berhasil berkembang di sana, persebarannya diyakini akan semakin besar dan cepat. Usaha para mubalig itu pun membuahkan hasil. Beberapa bulan setelah melakukan pendekatan, Gowa dan Tallo bersedia memeluk agama Islam. “Kerajaan Gowa dikenal sebagai salah satu kerajaan pertama yang menerima Islam sebagai agama resmi sekaligus menjadi pusat Islamisasi di Sulawesi Sulatan,” tulis Sewang.
KBRN MAKASSAR -- Untuk kali pertama Badan Pusat Statistik (BPS) melakukan sensus penduduk dengan menggunakan sistem online, yang dimulai sejak 15 Februari hingga 21 maret 2020. Warga Sulsel, Bisa Daftar Sensus Penduduk Dengan Cara Online
Mengenal Kesultanan Islam Pertama di Nusantara Ilust/Hidayatuna Jakarta – Dalam sejarah masuknya Islam di belahan Indonesia memiliki karakteristik dan coraknya masing-masing. Begitu pun dengan sejarah masuknya Islam di Sulawesi Selatan ratusan tahun buku yang diterbitkan Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan berjudul “Ragam Hias Beberapa Makam Islam di Sulawesi Selatan” menjelaskan. Sebelum Agama Islam masuk ke Sulawesi Selatan, banyak raja-raja dan rakyat dari kerajaan-kerajaan di daerah ini yang masih menganut kepercayaan nenek di Sulawesi Selatan antara lain Gowa, Tallo, Lamuru, dan Soppeng. Sejak abad ke-15, Sulawesi Selatan bagian Selatan banyak dikunjungi oleh pedagang-pedagang muslim yang berasal dari Malaka, Jawa dan Sumatera. Bahkan sejak raja Gowa ke-12 yaitu Tunijallo sudah menjalin persahabatan dengan raja-raja di Jawa, Johor, pahang, Banjar dan Maluku.“Pada mulanya masyarakat muslim di Sulawesi Selatan hanya terdiri atas para pedagang, terutama orang-orang Melayu. Berkat usaha muballiq Islam yang terkenal yaitu Datuk Tiro, Datu ri Bandang, Datuk Sulaeman, dan Datuk Palimang. Barulah Islam mulai tersebar di Sulawesi Selatan awal abad ke-17 M,” tulis laporan tersebut dikutip Selasa 21/9/2021.Raja yang Pertama Kali Memeluk IslamRaja Gowa dan Tallo, lanjut laporan tersebut, adalah raja-raja yang pertama kali memeluk agama Islam, tepatnya pada tanggal 22 September 1605 M. Kedua raja ini telah mengakui agama Islam sebagai agama kerajaan dan berusaha menyebarluaskannya.“Usaha penyebarluasannya dengan cara damai yaitu dengan mengirim utusan kepada raja-raja di daerah lainnya. Di Sulawesi Selatan untuk mengajak meninggalkan kepercayaan lama dan menganut agama Islam,” raja Soppeng dengan rajanya bergelar Datu Beo E dikalahkan oleh Gowa dan pada tahun 1609 M menyatakan memeluk Islam. Kemudian raja Gowa menyebarkan kekuasaannya ke Bone dan mengislamkannya pada tahun 1611 M. Setelah itu agama Islam berkembang dengan pesat di Sulawesi Selatan.“Akibat proses Islamisasi itu muncullah hasil-hasil peninggalan budaya yang mengandung pengaruh Islam dan banyak ditemukan di Sulawesi Selatan, diantaranya makam. Maka sebagai salah satu bukti sistem penguburan bagi orang-orang muslim, pada umumnya dibagian atas diberi tanda berupa nisan dengan arah utara dan selatan,” tandasnya.
terjawabSeluruh daerah Sulawesi Selatan dapat di Islamkan dengan cara A. Mendatangkan mubalig dari daerah lain B. Penyerangan dan penaklukan C. Menempatkanguru dan tokoh agama pada tiap daerah D. Memperbanyak sekolah agama dan pesantren E. Menyesuaikan agama dan tradisi lokal 2 Lihat jawaban Iklan Jawaban 4 indahkuswati83 Jawaban:
Oleh Ilham Kadir Alumnus Pesantren Darul Huffazh Tuju-tuju Bone, Sulawesi Selatan; Arabic-Islamic College Al Ihsaniah Penang, Malaysia; dan STAI-DDI Makassar Menurut catatan sejarah, hubungan diplomatik antara kerajaan Majapahit di Jawa dengan kerajaan-kerajaan Bantayan alias Bantaeng, Luwu, Uda pulau Talaud, Makassar, Butun Buton dan Salaya Selayar di Sulawesi Celebes telah terjalin cukup lama. Pada abad ke-16 orang-orang Bugis-Makassar berperan penting dalam peperangan melawan Belanda di Jawa. Selain dikenal mahir berkelahi menggunakan senjata tajam seperti badik, keris, dan sebagainya, mereka juga memiliki kesetiakawanan yang tinggi –sebagaimana digambarkan dalam kisah-kisah wayang di Jawa. Jejak kongkrit pengembaraan mereka masih kita temui di Jogjakarta, Riau, Singapura, Johor, Pahang dan Selangor Malaysia.[1] Awal Masuknya Islam di Sulawesi Selatan Setelah kerajaan Malaka kini salah satu negeri bagian di Malaysia jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511 dan arus niaga di pulau Jawa menurun maka pusat perdagangan Nusantara berpindah tempat ke Makassar di bawah pemerintahan kembar Gowa-Tallo, dan daerah ini pun dijadikan sebagai the Second Malacca. Sebagai Bandar niaga terbesar di Nusantara, maka tentu saja ia adalah ibarat gula yang di incar oleh para semut; maka berdatanganlah para pedagang dari berbagai penjuru, mulai dari pebisnis kelas Nusantara maupun kelas luar Nusantara, baik itu India, Persia, Arab, Afrika, Cina, dan Eropa. Para pedagang tersebut masing-masing datang dengan latar belakang yang berbeda– beda budaya, beda bangsa, beda bahasa, beda kepercayaan, dan seterusnya. Yang jelas pada saat itu Makassar sudah termasuk salah satu dari pusat tata niaga kelas dunia yang sangat diperhitungkan. Datangnya pedagang yang beragama Islam memiliki cerita tersendiri pada saat itu; diperkirakan para pedagang inilah yang pertama kali memperkenalkan Islam baik dalam skala Nusantara maupun skala lokal di Makassar. Sejarah yang sangat masyhur tentang masuknya Islam di Sulawesi Selatan terdapat dalam Lontara Latoa[2] yang dikenal sebagai priode Galigo. Saat itu masyarakat Sulawesi Selatan, khususnya suku Bugis dan Makassar, memiliki kepercayaan terhadap dewa yang disebut Dewata Seuwae Tuhan Yang Maha Esa; sisa-sisa kepercayaan ini masih dapat disaksikan hingga kini pada masyarakat Lotang dan Kajang. Disebutkan bahwa awal kedatangan Islam secara terang-terangan di Sulawesi Selatan dibawa oleh tiga da’i yang berasal dari Minangkabau yang terkenal dengan Datu’ Tellue. Meraka adalah Abdul Qadir Datuk Tunggal dengan julukan Datuk ri Bandang, Sulung Sulaeman sebagai Datuk Patimang, dan Khatib Bungsu sebagai Datuk ri Tiro.[3] Ketiga Ulama di atas menggarap lahan yang berbeda. Datuk ri Bandang menggarap kerajaan kembar Gowa-Tallo, Datuk Patimang menjelajah ke kerajaan Luwu sedang yang terakhir, Khatib Bungsu, masuk berdakwah pada masyarakat di daerah Tiro yang kini termasuk daerah Bulukumba dan kemudian hari beliau diberi gelar sebagai Datuk ri Tiro, dalam rangka pengabadian nama tempat beliau awal-awal berdakwah. Ketiga da’i di atas memiliki metode atau cara yang berbeda antara satu sama lain. Mereka berdakwah sesuai situasi, kondisi dan toleransi pada obyeknya. Khatib Bungsu alias Datuk ri Tiro, misalnya, melihat fenomena masyarakat daerah Tiro Bulukumba terdiri dari para penganut faham animisme atau percaya pada hal-hal yang berbau mistik, maka beliau memperkenalkan agama Islam dengan menggunakan metode dan ajaran tasawuf; dengan begitu masyarakat setempat dapat menerima ajaran agama Islam dengan sukarela dan tanpa ada paksaan sedikit pun. Berbeda dengan Abdul Qadir Datuk Tunggal alias Datuk ri Bandang dan Sulung Sulaeman sebagai Datuk Patimang, mereka berdua ini berdakwah melalui jalur birokrasi jika dibahasakan dengan konteks saat ini. Metodenya jelas berbeda dengan berdakwah melalui akar rumput grass root karena untuk menebarkan pengaruh kepada Sang Raja tidaklah semudah yang kita bayangkan. Jangankan dengan Raja, dengan kepala suku saja tidaklah mudah. Sebagaimana kita ketahui bahwa Raja tidaklah berdiri dengan sendirinya; dia punya pengawal, punya dewan penasehat, punya menteri, dan sebagainya. Jadi keberhasilan para da’i ini dalam mempengaruhi para penguasa untuk menerima agama Islam sebagai agama kerajaan dan para masyarakatnya merupakan sebuah keahlian yang tersendiri. Raja yang pertama menerima Islam sebagai agamanya adalah Raja Tallo yang bernama I Mallingkang Daeng Mannyonri, Karaeng Tumenanga ri Bontobiraeng. Baginda juga merangkap jabatan sebagai Tumabbicara Butta Mangkubumi Kerajaan Gowa. Menurut catatan lontara dan berbagai buku sejarah di Sulawesi Selatan bahwa tanggal resmi penerimaan Islam sebagai agama adalah pada malam Jumat 22 September 1605 atau 9 Jumadil Awal 1014 Hijriah. Setelah resmi masuk agama Islam maka baginda langsung mendapatkan gelar sebagai Sultan dan diberi nama Islam yaitu Sultan Awwalul Islam. Tidak berapa lama kemudian Raja Gowa ke 14 yang bernama I Manngerengi Daeng Manrabia juga turut memeluk Islam dan diberi gelar Sultan Alauddin. Dua tahun kemudian seluruh rakyat Gowa dan Tallo telah selesai di-Islamkan dengan diadakannya shalat Jumat secara berjamaah pertama di Tallo pada tanggal 9 Nopember 1607, bertepatan dengan 19 Rajab 1016 H. Setelah Kerajaan kembar Gowa-Tallo menjadi kerajaan Islam dan raja-rajanya memperoleh gelar Sultan, maka secara otomatis kerajaan ini telah menjadi pusat penyebaran Islam di daerah Sulawesi. Raja Gowa sebagai penguasa super power di daerah sulawesi mulai menampakkan pengaruhnya dengan menyerukan kepada seluruh raja-raja yang ada di Sulawesi supaya menerima Islam sebagai agama tunggal. Disamping itu, memang sudah ada semacam konsensus antara raja-raja di Sulawesi Selatan bahwa “Barang siapa yang menemukan jalan yang lebih baik, maka ia berjanji akan memberitahukannya pada raja-raja sekutunya”. Selain itu disebutkan juga bahwa pada tanggal 9 November 1967, Sultan Alauddin secara resmi mengeluarkan dekrit yang isinya menjadikan Islam sebagai agama resmi kerajaan dan masyarakat. Setelah Sulawesi Selatan dapat diislamkan, maka tibalah gilirannya Sultan Alauddin yang juga berprofesi sebagai da’i ini bersama Karaeng Matoaya Mangkubumi yang merupakan pamannya sendiri memperluas pengaruh dan wilayah melalui islamisasi pada kerajaan-kerajaan di sebelah Timur dan sebagian sebelah Barat. Bahkan supremasi dan dominasi Kerajaan Makassar meliputi separuh Nusantara, dari Sulawesi, Berau, dan Kutai Kalimantan Timur, Nusa Tenggara minus Bali karena sebelumnya telah terjadi perjanjian persahabatan antara Makassar, Marege Australia Utara, dan gugusan pulau Tinibar. Perluasan pengaruh dan dominasi Kerajaan Islam Makassar inilah menjadi cikal bakal munculnya Republik Indonesia yang kekuasaannya mempersatukan Nusantara dari Sabang sampai Marauke, dari Pualu Migas di sebelah Utara dan Sumba di sebelah Selatan.[4] Pada umumnya Islam berkembang di Sulawesi Selatan dengan damai dan apa adanya. Disamping adanya konsensus yang disebutkan di atas, para da’i Muslim juga terhitung cepat beradaptasi dengan kepercayaan ini. Memang terdapat kerajaan yang pada mulanya enggan langsung menerima Islam sebagai agama Istana dan rakyat, namun itu tidak seberapa. Disamping gencarnya dakwah yang dilakukan oleh kerajaan Gowa dan Tallo sebagai pemegang hegemoni politik dan supremasi di daerah Sulawesi pada khusunya dan Nusantara bagian timur pada umumnya, kerajaan ini memiliki pasukan tempur yang tangguh dan tak tertandingi oleh kerajaan mana pun di daerah Sulawesi dan bagian Timur Nusantara. Kerajaan yang memeluk Islam karena kalah dalam peperangan adalah Sidenreng Rappang dan Soppeng pada tahun 1609, menyusul Wajo tahun 1610, dan terakhir adalah Bone pada tahun 1611 M.[5] Selain Datuk Tellue, salah satu ulama dan pahlawan dua Negara Afrika Selatan dan Indonesia yang memiliki peran besar dalam dakwah di Sulawesi Selatan adalah Syekh Yusuf al–Makassari; dia hidup dalam pertengahan abad XVII dan termasuk ulama yang sangat dihormati; ia juga termasuk Bangsawan Gowa, kemudian merantau ke Banten dan menikah dengan putri Sultan Ageng. Mendampingi mertuanya melawan Belanda, ia pun kemudian ditawan oleh Belanda dan diasingkan di Sailon pada tahun 1683. Tapi pada saat itu sebahagian murid-muridnya terus berdatangan kepadanya. Inilah yang membuat Belanda makin geram yang akhirnya membuat beliau dibuang ke Tanjung Harapan Afrika Selatan. Karena banyaknya tempat yang di singgahi oleh tokoh ini, muncul kemudian anggapan terkait tentang tempat persemayaman akhir beliau. Sedikitnya ada tiga pandangan. Ada yang mengatakan bahwa ia dikuburkan di Banten; ada juga yang percaya bahwa ia dikebumikan Afrika Selatan, dan yang lain berpendapat kuburannya ada di Gowa, Sulawsi Selatan.[6] Baca selengkapnya di Jurnal Islamia, Pembebasan Nusantara Antara Islamisasi dan Kolonisasi’, No. 2, 2012. [1]Ketika Sultan Abdul Jalil putera Sultan Hasanuddin mengawinkan puterinya yang bernama Karaeng Pattukangang dengan Lapatauk Raja Bone, telah diadakan perjanjian bahwa putera pertama yang lahir dari perkawinan itulah yang menggantikan kakeknya sebagai raja Makassar. Namun harapan tersebut pupus karena Belanda berhasil menaklukkan Makassar. Maka ia pun pergi berlayar ke Pahang Malaysia, dimana ia menjadi penguasa. Kelak keturunannya menjadi Perdana menteri Malaysia yaitu Tun Abdul Razak dan kini anaknya Najib Abdul Razak. Lihat Mangemba, Sultan Hasanuddin Ayam Jantan Dari Benua Timur Pemda Tingkat II Gowa 1997, hlm. 18. [2]Lontara atau kronik merupakan catatan peristiwa yang ditulis di atas daun lontar, penulisannya juga harus melewati beberapa syarat, Salahsatu lontara yang terkenal adalah ditulis pada abad ke XVIII oleh La Sangaji Puanna La Sengseng, ia menyatakan bahwa bahan yang tidak boleh diambil sebagai bahan pertimbangan atau sumber ilmu adalah a Pau anakanae pembicaraan anak-anak yang belum akil baligh yang tidak masuk aka; b Tutu tau jangenge tutur kata orang yang tidak waras; c Sadda sanroe ramalan dukun, paranormal; d Nippie mimpi; e Kapangnge dugaan, terkaan, prasangka. Syarat-sayarat di atas diambil dari La Taddamparek Puang ri Maggalatung Arung Matoa Wajo tahun 1491 – 1521 M. Untuk selanjutnya silakan lihat Abu Hamid, et. al., dalam Siri’ & Pesse’ Harga Diri Manusia Bugis, Makassar, Mandar, dan Toraja. Cet. II; Makassar Refleksi, 2007, hal. 12. [3]Cerita awal kedatangan Islam juga dikisahkan bahwa seorang ulama dari Minangkabau Tengah, Sumatera Barat, bernama Abdul Makmur Khatib Tunggal, tiba dipelabuhan Tallo dalam tahun 1605, dengan menumpang sebuah kapal perahu, setibanya di pantai ia melakukan shalat yang mengherankan rakyat. Ia menyatakan keinginannya untuk menghadap Raja. Raja Tallo yang mendengar berita itu langsung bergegas ke pantai untuk menemui orang yang berbuat aneh itu. Ditengah perjalanan ke pantai, di pintu gerbang halaman istana Tallo, baginda bertemu dengan seorang tua yang menanyakan tentang tujuan perjalanan baginda. Orang tua itu menulis sesuatu di atas kuku ibu-jari baginda dan mengirim salam pada orang berbuat ajaib yang ada di pantai itu. Sewaktu Khatib Tunggal diberitahu tentang pertemuan Raja dengan orang tua itu, ia melihat bahwa yang tertulis di atas kuku ibu-jari Raja Tallo itu ialah surah al fatihah. Khatib Tunggal menyatakan bahwa orang tua itu yang menjumpai Baginda adalah penjelmaan Nabi Muhammad SAW. Seterusnya orang makassar menamakan penjelmaan Nabi Muhammad itu “Makassar Nabi Muhamad” sebagian orang Makassar mengartikan kalimat itu sebagai asal mula nama “Makassar”. Keterangan lebih sempurna baca juga, A. Mattulada dalam karyanya, Sejarah Masyarakat dan Kebudayaan Sulawesi Selatan, Makassar Hasanuddin University Press, 1998, hal. 150. [4] Mangemba, Sultan Hasanuddin Ayam Jantan Dari Benua Timur Pemda Tingkat II Gowa 1997, hal. 4. [5]Tiga kerajaan ini yaitu Bone, Soppeng, dan Wajo disebut juga tiga kerajaan aliansi tellumpoccoe. Untuk lebih jelasnya lihat Ahmad M. Sewang, Islamisasi Kerajaan Gowa. Abad XVI sampai Abad XVII, Jakarta Yayasan Obor Indonesia, 2003, hal. 2-3. [6]Di daerah Sulawesi Selatan, ulama memiliki keistemewaan tersendiri dalam strata sosial, sebagaimana kita ketahui bahwa susunan fungsional masyarakat bugis sebagai berikut a Ade’ tomapparenta pemimpin pemerintah yang diangkat dari anakarung dipercayai baca mitos keturunan to manurung yang berasal dari dunia luar; b To Panrita, ulama atau pimpinan kerohanian; c To Acca, kaum intelektual atau cerdik pandai; d, To Sugi, pengusaha atau orang kaya; e To Warani, pemberani atau jawara. lihat A. Mattulada, op. cit., h. 28.Andadapat bermain poker online dengan uang sebetulnya di Asia dinegara manapun anda berada. Jika Anda mencari tempat bermain poker online di Asia. Masing-masing situs kasino beri bonus personal pada pemain dan mempunyai kemampuan buat memproduksi setoran poker. 7 Cara Main Poker Online Yang Perlu Jadi perhatian
Seluruhdaerah Sulawesi Selatan dapat diislamkan dengan cara.. - 14298296. erick147 erick147 08.02.2018 Sejarah Sekolah Menengah Atas terjawab Seluruh daerah Sulawesi Selatan dapat diislamkan dengan cara.. 1 Lihat jawaban Iklan
PedofiliaTerjadi Hampir di Seluruh Sulawesi Selatan . Perkembangan teknologi informasi ikut memberi andil bila tidak disertai pendidikan moral. Edisi, 12 Mei 2014. Administrator. MAKASSAR